Monday, 2 January 2017

Makalah Perkembangan Demokrasi di Asia



BAB I
PENDAHULUAN

   A.    Latar Belakang
Demokrasi adalah kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dengan keputusan-keputusan utama dan bagian terbesar kekuasaan pemerintahannya juga arah kebijakan/policy dibalik semua keputusan tadi ada pada persetujuan bebas dari mayoritas orang dewasa dan pejabat-pejabat yang memerintah negara tersebut.
Sejarah pekembangan demokrasi berawal dari zaman kuno Kata "demokrasi" pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM. Cleisthenes disebut sebagai "bapak demokrasi Athena. Setelah demokrasi pada zaman kuno muncullah demokrasi pada abad perengahan , selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang memiliki pemilihan umum atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian kecil penduduk. Pada era moderen yaitu abad ke-18 dan 19 bangsa pertama dalam sejarah modern yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755. Konstitusi Korsika didasarkan pada prinsip-prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak suara wanita, hak yang baru diberikan di negara demokrasi lain pada abad ke-20. Abad ke 20 dan 21 transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam serangkaian "gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang, revolusi, dekolonisasi, religious and economic circumstances. Perang Dunia I dan pembubaran Kesultanan Utsmaniyah dan Austria-Hongaria berakhir dengan terbentuknya beberapa negara-bangsa baru di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu demokratis.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1.      Kedaulatan rakyat;
2.      Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3.      Kekuasaan mayoritas;
4.      Hak-hak minoritas;
5.      Jaminan hak asasi manusia;
6.      Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
7.      Persamaan di depan hukum;
8.      Proses hukum yang wajar;
9.      Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10.  Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11.  Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.
Sesudah berakhirnya Perang Dunia II muncul beberapa negara di Asia dan Afrika. Walaupun negara-negara baru itu banyak berbeda satu sama lain baik mengenai kebudayaannya, keadaan geografisnya, maupun perkembangan sejarahnya, tetai pada hakikatnya semua negara itu menghadapi satu persoalan yang sama, yaitu bagaimana mengubah suatu masyarakat agraris yang banyak ciri-ciri tradisionalnya, susunan masyarakat berlapis serta tingkat ekonominya rendah, menjadi suatu negara yang modern yang tingkat ekonominya lebih tinggi sesuai dengan rising expectations dari rakyatnya. Di dalam meneropong perkembangan demokrasi di Indonesia ada baiknya kita memerhatikan kejadian-kejadian di Pakistan. Kedua negara yang mayoritas rakyatnya beragama islam memulai masa merdekanya dengan sistem parlementer (di Indonesia sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Belanda, di Pakistan sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Inggris). Di kedua negara, sistem ini pada suatu ketika terasa tidak cocok dan diganti dengan sistem presidensial (di Indonesia pada tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpin, di Pakistan pada tahun 1958 dengan Demokrasi Dasar).

   B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan demokrasi?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan demokrasi?
3.      Apa saja prinsip-prinsip demokrasi?
4.      Apa yang menjadi asas pokok demokrasi?
5.      Bagaimana perkembangan demokrasi di Asia “Pakistan dan Indonesia?

   C.    Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.      Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kapsel Ilmu Politik.
2.      Untuk menambah wawasan tentang demokrasi.
3.      Untuk mengetahui bagaimana sejarah perkembangan demokrasi.
4.      Untuk mengetahui prinsip-prinsip demokrasi.
5.      Untuk mengetahui asas pokok demokrasi.
6.      Untuk mengetahui dan menambah wawasan bagaimana perkembangan demokrasi di Asia “Pakistan dan Indonesia”.






BAB II
PEMBAHASAN

   A.    Pengertian Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani (demokratia) "kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari (demos) "rakyat" dan (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama.
Demokrasi adalah kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dengan keputusan-keputusan utama dan bagian terbesar kekuasaan pemerintahannya juga arah kebijakan/policy dibalik semua keputusan tadi ada pada persetujuan bebas dari mayoritas orang dewasa dan pejabat-pejabat yang memerintah negara tersebut.
Adapun pengertian demokrasi menurut para ahli yaitu sebagai berikut :
1.      Abraham Lincoln 
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
2.      Charles Costello 
Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
3.      John L. Esposito 
Demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
4.      Hans Kelsen 
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
5.      Sidney Hook 
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Dengan demikian, demokrasi artinya pemerintahan oleh rakyat, dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas.

   B.     Sejarah Perkembangan Demokrasi
1.      Zaman Kuno
Kata "demokrasi" pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM. Cleisthenes disebut sebagai "bapak demokrasi Athena."
Demokrasi Athena berbentuk demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama: pemilihan acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan, dan majelis legislatif yang terdiri dari semua warga Athena. Semua warga negara yang memenuhi ketentuan boleh berbicara dan memberi suara di majelis, sehingga tercipta hukum di negara-kota tersebut. Akan tetapi, kewarganegaraan Athena tidak mencakup wanita, budak, orang asing (μέτοικοι metoikoi), non-pemilik tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun.
Dari sekitar 200.000 sampai 400.000 penduduk Athena, 30.000 sampai 60.000 di antaranya merupakan warga negara. Pengecualian sebagian besar penduduk dari kewarganegaraan sangat berkaitan dengan pemahaman tentang kewarganegaraan pada masa itu. Nyaris sepanjang zaman kuno, manfaat kewarganegaraan selalu terikat dengan kewajiban ikut serta dalam perang.
Demokrasi Athena tidak hanya bersifat langsung dalam artian keputusan dibuat oleh majelis, tetapi juga sangat langsung dalam artian rakyat, melalui majelis, boule, dan pengadilan, mengendalikan seluruh proses politik dan sebagian besar warga negara terus terlibat dalam urusan publik. Meski hak-hak individu tidak dijamin oleh konstitusi Athena dalam arti modern (bangsa Yunani kuno tidak punya kata untuk menyebut "hak"), penduduk Athena menikmati kebebasan tidak dengan menentang pemerintah, tetapi dengan tinggal di sebuah kota yang tidak dikuasai kekuatan lain dan menahan diri untuk tidak tunduk pada perintah orang lain.
Pemungutan suara kisaran pertama dilakukan di Sparta pada 700 SM. Apella merupakan majelis rakyat yang diadakan sekali sebulan. Di Apella, penduduk Sparta memilih pemimpin dan melakukan pemungutan suara dengan cara pemungutan suara kisaran dan berteriak. Setiap warga negara pria berusia 30 tahun boleh ikut serta. Aristoteles menyebut hal ini "kekanak-kanakan", berbeda dengan pemakaian kotak suara batu layaknya warga Athena. Tetapi Sparta memakai cara ini karena kesederhanaannya dan mencegah pemungutan bias, pembelian suara, atau kecurangan yang mendominasi pemilihan-pemilihan demokratis pertama.
Meski Republik Romawi berkontribusi banyak terhadap berbagai aspek demokrasi, hanya sebagian kecil orang Romawi yang memiliki hak suara dalam pemilihan wakil rakyat. Suara kaum berkuasa ditambah-tambahi melalui sistem gerrymandering, sehingga kebanyakan pejabat tinggi, termasuk anggota Senat, berasal dari keluarga-keluarga kaya dan ningrat. However, many notable exceptions did occur.  Republik Romawi juga merupakan pemerintahan pertama di dunia Barat yang negara-bangsanya berbentuk Republik, meski demokrasinya tidak menonjol. Bangsa Romawi menciptakan konsep klasik dan karya-karya dari zaman Yunani kuno terus dilindungi. Selain itu, model pemerintahan Romawi menginspirasi para pemikir politik pada abad-abad selanjutnya, dan negara-negara demokrasi perwakilan modern cenderung meniru model Romawi, bukan Yunani, karena Romawi adalah negara yang kekuasaan agungnya dipegang rakyat dan perwakilan terpilih yang telah memilih atau mencalonkan seorang pemimpin. Demokrasi perwakilan adalah bentuk demokrasi yang rakyatnya memilih perwakilan yang kemudian memberi suara terhadap sejumlah inisiatif kebijakan, berbeda dengan demokrasi langsung yang rakyatnya memberi suara terhadap inisiatif kebijakan secara langsung.
2.      Abad Pertengahan
Selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang memiliki pemilihan umum atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian kecil penduduk. Sistem-sistem tersebut meliputi:
·         Pemilihan Gopala oleh kasta atas di Bengal, Anak Benua India,
·         Persemakmuran Polandia-Lituania (10% dari populasi total),
·         Althing di Islandia,
·         Logting di Kepulauan Faeroe,
·         Beberapa negara-kota Italia abad pertengahan seperti Venesia,
·         Sistem tuatha di Irlandia abad pertengahan awal, Veche di Republik Novgorod dan Pskov di Rusia abad pertengahan,
·         Things di Skandinavia,
·         The States di Tirol dan Swiss,
·         Kota pedagang otonomi Sakai di Jepang abad ke-16, dan
·         Masyarakat Igbo di Volta-Nigeria.
Banyak wilayah di Eropa abad pertengahan dipimpin oleh pendeta atau tuan tanah. Kouroukan Fouga membelah Kekaisaran Mali menjadi klan-klan (keluarga) berkuasa yang diwakili di majelis umum bernama Gbara. Sayangnya, piagam tersebut membuat Mali lebih mirip monarki konstitusional alih-alih republik demokratis. Negara yang sistemnya lebih mendekati ddemokrasi modern adalah republik-republik Cossack di Ukraina pada abad ke-16–17: Cossack Hetmanate dan Zaporizhian Sich. Jabatan tertinggi di sana, Hetman, dipilih oleh perwakilan distrik-distrik negara tersebut.
Parlemen Inggris sudah membatasi kekuasaan raja melalui Magna Carta, yang secara rinci melindungi hak-hak khusus subjek-subjek Raja, baik yang sudah bebas atau masih terkekang, dan mendukung apa yang kelak menjadi habeas corpus Inggris, yaitu perlindungan kebebasan individu dari penahanan tak berdasar dengan hak membela diri. Parlemen pertama yang dipilih rakyat adalah Parlemen de Montfort di Inggris pada tahun 1265.
Sayangnya, hanya sekelompok kecil rakyat yang memiliki hak suara; Parlemen dipilih oleh sekian persen penduduk Inggris (kurang dari 3% pada tahun 1780) dan kekuasaan menyusun parlemen berada di tangan monarki (biasanya saat ia membutuhkan dana).
Kekuasaan Parlemen bertambah secara bertahap pada abad-abad berikutnya. Setelah Revolusi Agung 1688, Undang-Undang Hak Asasi Inggris tahun 1689 yang mengatur hak-hak tertentu dan menambah pengaruh Parlemen diberlakukan.  Penyebarannya perlahan ditingkatkan dan kekuasaan parlemen terus bertambah sampai monark hanya bersifat pelengkap. Seiring meningkatnya penyebaran pengaruh, sistem pemerintahan di seluruh Inggris diseragamkan dengan penghapusan borough usang (borough yang jumlah pemilihnya sangat sedikit) melalui Undang-Undang Reformasi 1832.
Di Amerika Utara, pemerintahan perwakilan terbentuk di Jamestown, Virginia, dengan dipilihnya Majelis Burgesses (pendahulu Majelis Umum Virginia) pada tahun 1619. Kaum Puritan Inggris yang bermigrasi sejak 1620 mendirikan koloni-koloni di New England yang pemerintahan daerahnya bersifat demokratis dan mendorong perkembangan demokrasi di Amerika Serikat.] Walaupun majelis-majelis daerah memiliki sedikit kekuasaan turunan, otoritas mutlaknya dipegang oleh Raja dan Parlemen Inggris.
3.      Era modern
a.      Abad ke-18 dan 19
Bangsa pertama dalam sejarah modern yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755. Konstitusi Korsika didasarkan pada prinsip-prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak suara wanita, hak yang baru diberikan di negara demokrasi lain pada abad ke-20. Pada tahun 1789, Perancis pasca-Revolusi mengadopsi Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara dan Konvensi Nasional dipilih oleh semua warga negara pria pada tahun 1792.
Penetapan hak suara pria universal di Perancis tahun 1848 adalah peristiwa penting dalam sejarah demokrasi. Hak suara pria universal ditetapkan di Perancis pada bulan Maret 1848 setelah Revolusi Perancis 1848. Tahun 1848, serangkaian revolusi pecah di Eropa setelah para pemimpin negara dihadapkan dengan tuntutan konstitusi liberal dan pemerintahan yang lebih demokratis dari rakyatnya.
Walaupun tidak disebut demokrasi oleh para bapak pendiri Amerika Serikat, mereka memiliki keinginan yang sama untuk menguji prinsip kebebasan dan kesetaraan alami di negara ini.[27] Konstitusi Amerika Serikat yang diadopsi tahun 1788 menetapkan pemerintahan terpilih dan menjamin hak-hak dan kebebasan sipil.
Pada zaman kolonial sebelum 1776, dan beberapa saat setelahnya, hanya pemilik properti pria dewasa berkulit putih yang boleh memberi suara, budak Afrika, sebagia besar penduduk berkulit hitam bebas dan wanita tidak boleh memilih. Di garis depan Amerika Serikat, demokrasi menjadi gaya hidup dengan munculnya kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi, perbudakan adalah institusi sosial dan ekonomi, terutama di 11 negara bagian di Amerika Serikat Selatan. Sejumlah organisasi didirikan untuk mendukung perpindahan warga kulit hitam dari Amerika Serikat ke tempat yang menjamin kebebasan dan kesetaraan yang lebih besar.
Pada Sensus Amerika Serikat 1860, populasi budak di Amerika Serikat bertambah menjadi empat juta jiwa, dan pada Rekonstruksi pasca-Perang Saudara (akhir 1860-an), budak-budak yang baru bebas menjadi warga negara dengan hak suara (pria saja). Penyertaan penuh warga negara belum sempurna dilakukan sampai Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika (1955–1968) disahkan oleh Kongres Amerika Serikat melalui Undang-Undang Hak Suara 1965.
b.      Abad ke-20 dan 21
Transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam serangkaian "gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang, revolusi, dekolonisasi, religious and economic circumstances. Perang Dunia I dan pembubaran Kesultanan Utsmaniyah dan Austria-Hongaria berakhir dengan terbentuknya beberapa negara-bangsa baru di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu demokratis.
Pada tahun 1920-an, demokrasi tumbuh subur tetapi terhambat Depresi Besar. Amerika Latin dan Asia langsung berubah ke sistem kekuasaan mutlak atau kediktatoran. Fasisme dan kediktatoran terbentuk di Jerman Nazi, Italia, Spanyol, dan Portugal, serta rezim-rezim non-demokratis di Baltik, Balkan, Brasil, Kuba, Cina, dan Jepang.
Perang Dunia II mulai memutarbalikkan tren ini di Eropa Barat. Demokratisasi Jerman dudukan Amerika Serikat, Britania, dan Perancis (diragukan), Austria, Italia, dan Jepang dudukan menjadi model teori perubahan rezim selanjutnya.
Akan tetapi, sebagian besar Eropa Timur, termasuk Jerman dudukan Soviet masuk dalam blok-Soviet yang non-demokratis. Perang Dunia diikuti oleh dekolonisasi dan banyak negara merdeka baru memiliki konstitusi demokratis. India tampil sebagai negara demokrasi terbesar di dunia sampai sekarang.
Pada tahun 1960, banyak negara yang menggunakan sistem demokrasi, meski sebagian besar penduduk dunia tinggal di negara yang melaksanakan pemilihan umum terkontrol dan bentuk-bentuk pembohongan lainnya (terutama di negara komunis dan bekas koloninya).
Gelombang demokratisasi yang muncul setelah itu membawa keuntungan demokrasi liberal sejati yang besar bagi banyak negara. Spanyol, Portugal (1974), dan sejumlah kediktatoran militer di Amerika Selatan kembali dikuasai rakyat sipil pada akhir 1970-an dan awal 1980-an (Argentina tahun 1983, Bolivia, Uruguay tahun 1984, Brasil tahun 1985, dan Chili awal 1990-an). Peristiwa ini diikuti oleh banyak bangsa di Asia Timur dan Selatan pada pertengahan sampai akhir 1980-an.
Malaise ekonomi tahun 1980-an, disertai ketidakpuasan atas penindasan Soviet, menjadi faktor runtuhnya Uni Soviet yang menjadi tanda berakhirnya Perang Dingin dan demokratisasi dan liberalisasi bekas negara-negara blok Timur. Kebanyakan negara demokrasi baru yang sukses secara geografis dan budaya terletak dekat dengan Eropa Barat. Mereka sekarang menjadi anggota atau calon anggota Uni Eropa. Sejumlah peneliti menganggap Rusia saat ini bukanlah demokrasi sejati dan lebih mirip kediktatoran.
Tren liberal ini menyebar ke beberapa negara di Afrika pada tahun 1990-an, termasuk Afrika Selatan. Contoh terbaru liberalisasi adalah Revolusi Indonesia 1998, Revolusi Bulldozer di Yugoslavia, Revolusi Mawar di Georgia, Revolusi Oranye di Ukraina, Revolusi Cedar di Lebanon, Revolusi Tulip di Kyrgyzstan, dan Revolusi Yasmin di Tunisia. Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi elektoral (naik dari 40 pada tahun 1972). Menurut World Forum on Democracy, jumlah negara demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192 negara di dunia dan mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-negara demokrasi liberal (yang dianggap Freedom House sebagai negara yang bebas dan menghormati hukum dan HAM) berjumlah 85 dan mencakup 38 persen penduduk dunia. Pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional.

   C.    Prinsip-Prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
12.  Kedaulatan rakyat;
13.  Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
14.  Kekuasaan mayoritas;
15.  Hak-hak minoritas;
16.  Jaminan hak asasi manusia;
17.  Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
18.  Persamaan di depan hukum;
19.  Proses hukum yang wajar;
20.  Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
21.  Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
22.  Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.

   D.    ASAS POKOK DEMOKRASI
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
1.      Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
2.      Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-ciri pemerintahan demokratis Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
1.      Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2.      Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
3.      Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
4.      Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum.
5.      Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
6.      Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
7.      Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
8.      Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
9.      Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).

   E.     Perkembangan Demokrasi Di Asia: Pakistan Dan Indonesia
Sesudah berakhirnya Perang Dunia II muncul beberapa negara di Asia dan Afrika. Walaupun negara-negara baru itu banyak berbeda satu sama lain baik mengenai kebudayaannya, keadaan geografisnya, maupun perkembangan sejarahnya, tetai pada hakikatnya semua negara itu menghadapi satu persoalan yang sama, yaitu bagaimana mengubah suatu masyarakat agraris yang banyak ciri-ciri tradisionalnya, susunan masyarakat berlapis serta tingkat ekonominya rendah, menjadi suatu negara yang modern yang tingkat ekonominya lebih tinggi sesuai dengan rising expectations dari rakyatnya. Untuk usaha ini perlu disusun suatu sistem politik yang stabil serta dinamis, aparatur administrasi yang efisien, serta aparatur yang efektif. Pendek kata, persoalan yang dihadapi oleh negara-negara baru berkisar pada masalah nation building dan pembangunan ekonomi secara serentak.
Dalam usaha membangun negaranya pada masa Pasca Perang Dunia II tersebut, ada negara yang tertarik oleh pola komunis, seperti China dan Korea Utara. Tetapi banyak pula negara yang lebih tertarik untuk membentuk sistem politik yang sedikit banyak berperang pada beberapa asasi pokok dari demokrasi konstitusional seraya memperkembangkan corak khas budaya politik masing-masing. Perkembangan yang beraneka corak ini telah memperbanyak variasi dari demokrasi konstitusional. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa usaha modernisasi dari demokrasi konstitusional seraya memperkembangkan corak khas dalam beberapa negara, mengalami kesulitan oleh karena tidak adanya beberapa faktor yang dalam dunia Barat telah sangat membantu perkembangan demokrasi sampai tercapai taraf sekarang ini. Faktor-faktor ini antara lain adalah : persentase buta huruf yang rendah, keadaan ekonomi yang mencukupi, adanya homogenitas sosial, kelas menengah (middle class) yang kuat, serta masa damai yang cukup lama. Dalam beberapa negara proses modernitas telah mengakibatkan instabilitas politik sehingga rakyatnya mengalami kegoncangan sosial dan konstitusional yang dahsyat. Juga dirasa perlunya membentuk suatu pemerintahan yang kokoh kedudukannya untuk menyelenggarakan serta membimbing proses ini. Dibeberapa negara timbul kecenderungan untuk memakai cara-cara yang bersifat otokrasi dan memusatkan kekuasaan dalam tangan seorang pemimpin yang kadang-kadang dibantu oleh kegiatan satu partai tunggal. Dibeberapa negara lain, dimana pemimpin sipil tidak berdaya untuk mengatasi situasi yang kompleks, kita melihat masuknya golongan angkatan bersenjata, terutama tentara, ke dalam gelanggang politik.
Di dalam meneropong perkembangan demokrasi di Indonesia ada baiknya kita memerhatikan kejadian-kejadian di Pakistan. Kedua negara yang mayoritas rakyatnya beragama islam memulai masa merdekanya dengan sistem parlementer (di Indonesia sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Belanda, di Pakistan sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Inggris). Di kedua negara, sistem ini pada suatu ketika terasa tidak cocok dan diganti dengan sistem presidensial (di Indonesia pada tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpin, di Pakistan pada tahun 1958 dengan Demokrasi Dasar). Dalam tahap perkembangannya kedua negara menunjukkan ciri-ciri otokrasi pemaksaan kehendak pemimpin dan kultus individu. Di Indonesia tahap berakhir pada tahun 1965 dengan G 30S/PKI dan dimulailah suatu periode baru yang berusaha meletakkan sendi-sendi demokrasi konstitusional berdasarkan Pancasila. Di Pakistan Demokrasi Dasar mendapat tantangan yang kuat dan pada tahun 1969 Presiden Ayub Khan mengundurkan diri dan pimpinan diambil alih oleh Jenderal Yahya Khan. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi bentrokan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur yang berakhir dengan munculnya Pakistan Timur pada tahun 1971 sebagai negara merdeka bernama Bangladesh. Di Pakistan (Barat) sistem presidensial kembali diganti dengan sistem parlementer.
Ada baiknya kita teropong perkembangan di Pakistan, terutama masa Demokrasi Dasar sebagai contoh dari suatu usaha untuk mengatasi krisis kepemimpinan dengan mengganti sistem parlementer dengan suatu sistem presidensial.
1.      Pakistan
Ketika lahir pada tahun 1947 Pakistan terdiri atas dua bagian, Pakistan Barat dan Pakistan Timur yang satu sama lain terikat karena persamaan agama yaitu agama Islam. Tetapi kedua bagian terpisah secara geografis oleh wilayah India sepanjang 1.600 km dan juga berbeda dalam hal kebudayaan, bahasa, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Pakistan Timur dalam bahasa dan kebudayaannya berorientasi kepada Bengal, sedangkan Pakistan Barat kepada Punjab. Pakistan Timur lebih banyak penduduknya, tetapi mayoritas pegawai negeri. Sementara itu, banyak perwira Angkatan Darat berasal dari Pakistan Barat. Selain itu, Pakistan Barat lebih pesat kemajuan ekonominya sehingga Pakistan Timur merasa dianaktirikan disemua bidang.
Tidak lama sesudah tercapainya kemerdekaan, pelopor kemerdekaan Mohamad Ali Jinnah meninggal dan kematiannya pada tahun 1951 disusul dengan terbunuhnya Liaquat Ali Khan. Meninggalnya kedua pemimpin ini sanagat mempengaruhi perkembangan politik selanjutnya, karena pemimpin-pemimpin lain tidak memiliki kewibawaan ditingkat nasional. Disamping itu partai politik yang masa pra-kemerdekaan telah memelopori berdirinya Pakistan sebagai negara terpisah dari India, Muslim League, kehilangan popularitas, terutama dibagian timur. Dengan demikian Pakistan mengalami krisis kepemimpinan dan keadaan instabilitas politik.
Hal ini terasa waktu menghadapi masalah penyusunan undang-undang dasar baru. Baru pada tahun 1956, setelah konstituante yang dilantik pada tahun 1947 dibubarkan dan diganti oleh konstituante baru, suatu undang-undang dasar baru dapat diterima dengan baik. Tetapi hal ini pun tidak dapat mengakhiri instabilitas politik, sehingga pada tahun 1958 tentara turun tangan dengan membatalkan Undang-Undang Dasar 1956 yang berdasarkan sistem parlementer dan membubarkan kabinet, dewan perwakilan rakyat baik di pusat maupun di kedua provinsi, serta partai-partai politik. Jenderal Ayub Khan mengambil alih pimpinan negara sebagai presiden revolusioner dengan suatu kabinet presidensial. Pada tahun 1960 diadakan referendum, dimana Ayub Khan dipilih sebagai presiden dengan diberi tugas untuk menyusun undang-undang dasar baru.
Presiden Ayub Khan berpendapat bahwa sistem parlementer kurang cocok untuk Pakistan yang 80% rakyatnya masih buta huruf. Ia juga mengecam sistem parlementer karena telah membuka kesempatan bagi pemimpin-pemimpin partai untuk memperkaya diri dan memperkuda rakyat. Karena itu ia menganggap struktur perlu dirombak dan diganti dengan suatu sistem yang memenuhu beberapa syarat :
1.      Mudah dimengerti oleh rakyat yang buta huruf dan hidup di daerah pedesaan.
2.      Memberi kesempatan kepada semua rakyat termasuk lapisan yang paling bawah untuk secara aktif memikirkan serta memutuskan masalah sosial dan politik yang menyangkut daerahnya sendiri di dalam batas-batas kemampuannya. Dengan demikian ia dapat menghindarkan diri dari pengaruh pemimpin-pemimpin partai. Soal-soal nasional dipercayakan kepada seorang presiden untuk diselesaikan.
3.      Menyusun pemerintahan yang kokoh yang tidak diombang-ambingkan oleh dewan perwakilan rakyat.
Gagasan Ayub Khan dituang dalam suatu undang-undang dasar yang mulai berlaku bulan Juni 1962 dan dinamakan Demokrasi Dasar (Basic Democracy). Untuk memungkinkan partisipasi aktif dari semua lapisan rakyat, disusun suatu sistem pemilihan bertingkat berdasarkan sistem distrik. Seluruh Pakistan dibagi dalam 80.000 distrik pemilihan kecil (40.000 di Pakistan Barat dan 40.000 di Pakistan Timur) yang hanya mencakup kira-kira 1000 penduduk. Dengan demikian setiap orang dapat memilih seorang kepercayaannya sebagai wakil distriknya. 80.000 wakil distrik ini (yang dinamakan basic democrats), bertindak sebagai pemilih dalam suatu majelis pemilihan (electoral college) yang mempunyai wewenang untuk memilih presiden beserta kira-kira 150 anggota dewan perwakilan rakyat. Dengan cara demikian diharapkan terpilihnya orang-orang yang benar-benar merupakan wakil rakyat dan tersingkirnya pemimpin-pemimpin partai politik (professional politicians) dari arena politik.
Selanjutnya dalam undang-undang dasar ditetapkan adanya seorang presiden sebagai Kepala Eksekutif Chief Executive) yang tidak dapat dijatuhkan oleh dewan perwakilan rakyat selama masa jabatan lima tahun sesuai dengan sistem yang dalam ilmu politik biasanya disebut sistem presidensial atau sistem fixed executive. Di bidang legislatif presiden mempunyai wewenang untuk memveto rancangan undang-undang yang telah diterima oleh dewan perwakilan rakyat. Veto ini hanya dapat dibatalkan kalau rancangan undang-undang itu diajukan kepada sidang dan kemudian diterima kembali oleh 2/3 dari jumlah anggotanya. Kalau presiden menolak pembatalan vetonya, maka masalah ini dapat diajukannya kepada para Basic Democrats dalam suatu referendum dimana dapat diharapkan mereka lebih bersimpati kepada presiden. Selain itu presiden mempunyai wewenang untuk membubarkan dewan perwakilan rakyat, dalam hal mana ia harus mengundurkan diri dalam 120 hari dan mengadakan pemilihan umum baru. Juga dalam masa darurat yang keperluannya dapar ditentukan oleh presiden sendiri, presiden mempunyai kekuasaan yang luas. Secara formal kekuasaan presiden di Pakistan lebih besar daripada presiden di Amerika Serikat atau presiden di Indonesia, dan karena itu pernah dikatakan bahwa pemerintah Pakistan merupakan pemerintah dari presiden, oleh presiden, dan untuk presiden. Ternyata siasat Presiden Ayub Khan untuk menyusun suatu orde politik baru dan membimbing emansipasi rakyatnya tidak menemui sasaran dalam pemilihan yang diadakan dalam tahun 1962. Dengan sistem Demokrasi Dasar dan tanpa partai ternyata banyak pemimpin partai lama dipilih kembali, demikian pula dengan dewan perwakilan rakyat baru segera menghidupkan partai-partai lama, bahkan Presiden Ayub Khan sendiri, menggabungkan diri (Convensionist) pada Muslim League.
Tetapi dibidang ekonom, pembaharuan  Presiden Ayub Khan lebih berhasil, malahan boleh dinamakan suatu success story kalau dilihat dri sudut naiknya GNP, tetapi kemakmuran baru hanya dirasakan oleh sekelompok kecil rakyat di Pakistan Barat. Lama-kelamaan timbul oposisi terhadap korupsi yang merajalela dan terhadap sistem Demokrasi Dasar yang dianggap kurang demokratis. Sesudah terjadi kerusuhan, maka pada tahun 1968 Presiden Ayub Khan menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Yahya Khan. Presiden baru menjanjikan akan menghidupkan kembali sistem parlementer dan mengadakan pemilihan umum akhir tahun 1970. Tetapi ternyata dua partai terbesar yaitu Partai Rakyat di Pakistan Barat dan Partai Awami Nasional di Pakistan Timur tidak dapat mencapai bassis yang cukup kuat untuk merundingkan suatu undang-undang dasar baru, sehingga Jenderal Yahya Khan mengambil alih pimpinan negara. Akhirnya pada tahun 1971 terjadi perpecahan sehingga Pakistan menjadi dua negara, yakni Pakistan dan Bangladesh.
Perubahan dari sistem presidensial ke sistem parlementer mewarnai perkembangan demokrasi di Pakistan. bahkan ada yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang kemudian dianut oleh Pakistan adalah sistem semi-presidensial. Posisi presiden di Pakistan secara tradisional merupakan kepala pemerintahan yang menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Namun, konsep dasar tersebut dalam pelaksanaannya di Pakistan sering terjadi penyimpangan, terutama karena adanya kudeta militer atau kembalinya pemerintahan sipil. Dalam keadaan seperti itu, perubahan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Pakistan dapat mengganti kekuasaan atau hak-hak istimewa dari presiden.
UUD Pakistan, mengatur bahwa presiden memegang apa yang disebut sebagai reserve power dimana presiden dapat menurunkan perdana menteri yang berkuasa dengan membubarkan National Assembly dan meminta diselenggarakannya pemilihan umum baru. Sebagaimana diatur dalam UUD, reserve power ini haruslah mendapat persetujuan atau veto dari Mahkamah Agung.
Perubahan UUD pada tahun 1973 mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlementer. Hal ini berarti memberikan kekuasaan kembali kepada perdana menteri untuk menjadi kepala pemerintahan. Zulfiqar Ali Bhutto yang menjadi Presiden tahun 1971 turun dari kursi kepresidenan dan menjadi Perdana Menteri sebagaimana diamanatkan oleh UUD tahun 1973.
Tahun 1978, PM Zulfiqar Ali Bhutto digulingkan oleh Jenderal Muhamad Zia-ul-Haq yang kemudian mengumumkan dirinya sebagai presiden. Mulai tahun 1978 hingga 1988 Pakistan kembali menganut sistem presidensial dimana presiden Zia menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Untuk memperkuat sistem presidensial ini, Presiden Zia mengamandemen UUD 1973. Hal yang paling prinsip diubah dalam UUD 1978 adalah ia mengintrodusir konsep reserve power dari seorang presiden.
Setelah kematian presiden Zia tahun 1988, Pakistan kembali ke sistem parlementer. Benazir Bhutto anak dari Zulfiqar Ali Bhutto, terpilih menjadi perdana menteri perempuan pertama yang dipilih secara demokrasi dalam sebuah negara Islam.
Sejak tahun 1990 terjadi ketidakstabilan politik di Pakistan dimana presiden dan perdana menteri berkonflik, Presiden dengan reserve powernya membubarkan National Assembly yang secara otomatis juga menggulingkan perdana menteri. Dari tahun 1990 hingga 1996, presiden tiga kali membubarkan Dewan Nasional (National Assembly). Hal ini berarti tiga kali perdana menteri otomatis dijatuhkan dan tiga kali pula pemilihan umum diselenggarakan pada periode tersebut.
Perubahan dari sistem parlementer ke sistem presidensial terjadi lagi ketika Jenderal Pervez Musharraf pada tanggal 12 Oktober 1999 melakukan kudeta menggulingkan Perdana Menteri Nawaz Sharif. Pada saat itu ia mengumumkan dirinya sebagai Chief of Executive dan melakukan tugas-tugas sebagai perdana menteri sampai dengan 32 November 2002 dan pada tanggal 20 Juni 2001, ia mengklaim dirinya sebagai presiden Pakistan.
Keberlangsungan demokrasi di Pakistan diuji pada ,asa Jenderal Mushaeeaf. Ia yang meraih kekuasaan melalui kudeta, harus melegitimasikan posisi kepresidenannya dan menjamin kelanjutan kedudukannya. Atas perintah Mahkamah Agung, Jenderal Musharraf harus mengadakan pemilihan umum selambat-lambatnya tanggal 12 Oktober 2002. sebelum pemilihan umum itu berlangsung, Jenderal Musharraf mengadakan referendum pada tanggal 30 April 2002 untuk melihat kemungkinan dirinya memperpanjang masa jabatannya setelah pemilu Oktober 2002. Tetapi, referendum ini diboikot oleh kebanyakan kelompok politik, sehingga jumlah pesertanya hanya 30% atau mungkin lebih rendah menurut perkiraan umum. Meskipun begitu, Musharraf melalui partai bentukannya Partai Pakistan Muslim League Quaide-Azam (PML-Q) memenangkan pemilu yang diadakan pada Oktober 2002 dan partai yang baru dibentuk tersebut memenangkan kursi diparlemen. Dengan dukungan partai itu, para anggota parlemen pro-Musharraf dapat menguasai dua per tiga super mayoritas yang dibutuhkan untuk meloloskan amandemen yang ke-17 yang secara retroaktif melegalisasikan kudeta Musharraf tahun 1999 dan banyak dekrit yang dikeluarkan sesudah itu. Dalam sebuah mosi percaya pada 1 Januari 2004, Musharraf memenangkan 658 dari 1.170 suara di Dewan Pemilihan Pakistan dan menurut pasal 41(8) dari kostitusi Pakistan ia “dianggap terpilih” menjadi Presiden hingga Oktober 2007.
2.      Indonesia
Perkembangan Demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 20 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beranekaragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator, apakah diktator ini bersifat perorangan, partai, ataupun militer.
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia Dapat dibagi dalam empat masa, yaitu :
a.       Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer.
b.      Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
c.       Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
d.      Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang), yaitu masa Reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III



v Masa Republik Indonesia I (1945-1959): Masa Demokrasi Konstitusional
Sistem parlementer yang berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain. Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional (contitutional head) dan menteri-menterinya mempunyai tanggungjawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggungjawab mengenai permasalahan pemerintah. Dilain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun program-program yang alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif, dari tugas oposisi.
Umumnya kabinet pada masa pra pemilihan umum yang diadakn pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya pun. Pemilihan Umum tahun 1955 tidak membwa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa daerah.
Disamping itu ternyata ada bebrapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai rubberstamp (presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggungjawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden  untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
v Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis, dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik.
Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukkan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini (Undang-Undang Dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol diadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden, disamping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin Trias Politika. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif untuk campur tangan dibidang lain selain bidang eksekutif.  Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan dibidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964, dan dibidang legislatif berdasarkan Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat.
Selain itu terjadi penyelewengan dibidang perundang-undangan dimana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan Presiden (Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik Komunisme Internasional yang menggariskan pembentuk front nasional sebagai persiapan kearah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan, dan dibreidel, sedangkan politik mercu suar dibidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi Pancasila.
v Masa Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila
Landasan formal dari periode ini ialah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang telah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan jabatan masa seumur hidup untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi jabatan elektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telh menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa Demokrasi Terpimpin dan atas dasar itu  Undang-Undang No. 19/1964 telah diganti dengan suatu Undang-Undang (No. 14/1970) yang menetapkan kembali ke asas kebebasan badan-badan pengadilan. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong diberi beberapa hak kontrol disamping tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah. Pemimpinnya tidak mempunyai status materi. Begitu pula tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang baru telah meniadakan pasal  yang memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapai mufakat antara anggota badan legislatif. Golongan Karya diamana, anggota ABRI memainkan peranan penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa hak asasi diusahakan supaya diselenggarakan lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan kepada partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat disamping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur serta terencana.
Perkembangan lebih lanjut pada masa Republik Indonesia III (yang juga disebut sebagai Orde Baru yang menggantikan Orde Lama) menunjukkan peranan presiden  yang semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan ditangan presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia., tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indonesia, keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Surat Perintah 11 Maret (Super Semar) memberikan peluang yang besar kepada Jenderal Soeharto untuk tampil sebagai tokoh yang berpengaruh di Indonesia. Status ini membuka peluang bagi Jenderal Soeharto untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti Presiden Soekarno.
Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyalitas pegawai negeri sipil (PNS). Semula prinsip itu diperlukan untuk melindungi Orde Baru dan gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari musush-musuh Orde Baru dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar pada setiap pemilihan umum (pemilu). Krmudian stelah Orde Baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip monoloyalitas tersebu\t masih tetap digunakan untuk mencegah partai politik lain keluar sebagai pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde Baru dapat terus berkuasa.
Masa Republik Indonesia III menunjukkan keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari awal, Orde Baru memang menginginkan adanya pemilu. Ini terlihat dari dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Pemilu pada tahun 1969, hanya setahun setelah Presiden Soeharto dilantik sebagai presiden oleh MPRS pada tahun 1968 atau dua tahun setelah ia dilantik sebagai pejabat presiden pada tahun 1967. Hak ini sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa awalnya, yakni Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Sebelum fusi partai politik tahun 1973, semua OPP, kecuali Golkar, menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan dari para pemilih, antara lain karena adanya asas monoloyalitas yang sudah disebutkan sebelumnya. Setelah fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik disamping Golkar, tidak ada perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat dipastikan memenangkan setiap pemilu. Hal ini disebabkan karena OPP ini mendapatkan dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP)dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menghadapi banyak kendala dalam memperoleh dukungan dari para pemilih. terlepas dari semua itu, pelaksanaan pemilu sebanyak 6 kali tersebut telah memberikan pendidikan politik yang penting bagi rakyat Indonesia sehingga rakyat telah terbiasa memberikan suara dan menentukan pilihan dalam pemilu. Keberhasilan pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah itu ternyata tidak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota keluarga dan kroni para penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Menjelang berakhirnya Orde Baru, elit politik menjadi semakin tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan merugikan negara dan rakyat banyak.
Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnya kelompok-kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Yang menjadi pelopor para penentang ini adalah para mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangny Orde Baru. Kekuatan mahasiswa yang besar yang menyebabkan sulitnya mereka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia terhadap gerakan tersebut berhasil memaksa elit politik untuk berubah sikap terhadap Presiden Soeharto. Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden turun. Kemudian 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik seperti ini, Presiden Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat dan orang-orang dekatnya sendiri, sehingga kemudian ia memutuskan untuk mundur sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Mei 1998. Mundurnya Soeharto dari kursi presiden menjadi pertanda dari berakhirnya masa Republik Indonesia III yang disusul munculnya Republik Indonesia IV.
v Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi
Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses pendemokrasian politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Presiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu, langkah yang dilakukan pemerintah Habibie adalah mempersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. UU politik yang meliputi UU Partai politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1999. UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya sehingga Pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia internasional. Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang tidak kalah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI sekarang TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan. Fungsi pertahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak reformasi internal TNI tersebut.
Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahu (1999-2002). Beberapa perubahan penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif diperkuat, semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung (pilpres). Pilpres pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif.
Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih kepala daerah \secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada mulai pertengahan 2005. Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya harus dipilih melalui pilkada. Pilkada bertujuan untuk menjadikan pemerintah daerah lebih demokratis dengan diberikan hak bagi rakyat untuk menentukan kepala daerah. Hal ini tentu saja berbeda dengan dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung krena dipilih oleh DPRD.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR , DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan DPRD telah menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di indonesia. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk pemerintah Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai demokrasi yang penting telah diterapkan melalui pelaksanaan peraturan perundang-undangan mulai dari UUD 1945. Memang benar bahwa demokratisasi adalah proses tanpa akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi di Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Demokrasi adalah kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi artinya pemerintahan oleh rakyat, dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas.
Sejarah pekembangan demokrasi berawal dari zaman kuno Kata "demokrasi" pertama muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM. Cleisthenes disebut sebagai "bapak demokrasi Athena. Setelah demokrasi pada zaman kuno muncullah demokrasi pada abad perengahan , selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang memiliki pemilihan umum atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian kecil penduduk. Pada era moderen yaitu abad ke-18 dan 19 bangsa pertama dalam sejarah modern yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755. Konstitusi Korsika didasarkan pada prinsip-prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak suara wanita, hak yang baru diberikan di negara demokrasi lain pada abad ke-20. Abad ke 20 dan 21 transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam serangkaian "gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang, revolusi, dekolonisasi, religious and economic circumstances. Perang Dunia I dan pembubaran Kesultanan Utsmaniyah dan Austria-Hongaria berakhir dengan terbentuknya beberapa negara-bangsa baru di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu demokratis.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah:
1.      Kedaulatan rakyat;
2.      Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3.      Kekuasaan mayoritas;
4.      Hak-hak minoritas;
5.      Jaminan hak asasi manusia;
6.      Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
7.      Persamaan di depan hukum;
8.      Proses hukum yang wajar;
9.      Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10.  Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11.  Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.
a.       Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
b.      Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Sesudah berakhirnya Perang Dunia II muncul beberapa negara di Asia dan Afrika. Walaupun negara-negara baru itu banyak berbeda satu sama lain baik mengenai kebudayaannya, keadaan geografisnya, maupun perkembangan sejarahnya, tetai pada hakikatnya semua negara itu menghadapi satu persoalan yang sama, yaitu bagaimana mengubah suatu masyarakat agraris yang banyak ciri-ciri tradisionalnya, susunan masyarakat berlapis serta tingkat ekonominya rendah, menjadi suatu negara yang modern yang tingkat ekonominya lebih tinggi sesuai dengan rising expectations dari rakyatnya. Di dalam meneropong perkembangan demokrasi di Indonesia ada baiknya kita memerhatikan kejadian-kejadian di Pakistan. Kedua negara yang mayoritas rakyatnya beragama islam memulai masa merdekanya dengan sistem parlementer (di Indonesia sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Belanda, di Pakistan sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Inggris). Di kedua negara, sistem ini pada suatu ketika terasa tidak cocok dan diganti dengan sistem presidensial (di Indonesia pada tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpin, di Pakistan pada tahun 1958 dengan Demokrasi Dasar). Pakistan, ketika lahir pada tahun 1947 Pakistan terdiri atas dua bagian, Pakistan Barat dan Pakistan Timur yang satu sama lain terikat karena persamaan agama yaitu agama Islam. Tetapi kedua bagian terpisah secara geografis oleh wilayah India sepanjang 1.600 km dan juga berbeda dalam hal kebudayaan, bahasa, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Pakistan Timur dalam bahasa dan kebudayaannya berorientasi kepada Bengal, sedangkan Pakistan Barat kepada Punjab. Pakistan Timur lebih banyak penduduknya, tetapi mayoritas pegawai negeri. Sementara itu, banyak perwira Angkatan Darat berasal dari Pakistan Barat. Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia Dapat dibagi dalam empat masa, yaitu :
1.      Masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer.
2.      Masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3.      Masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
4.      Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang), yaitu masa Reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.

B.     Saran
Sudah sepantasnya kita sebagai negara yang berdemokrasi bisa menghargai pendapat orang lain. Kelebihan dan kekurangan pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi memberikan harapan akan tumbuhnya masyarakat baru yang memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, berpolitik dimana masyarakat mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif. Untuk menghadapi tantangan dan mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan partai politik agar demokrasi bisa berkembang ke arah yang lebih baik.





DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kartini, kartono. (1989). Pendidikan Politik. Bandung: CV. Mandar Maju


EmoticonEmoticon