BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokrasi adalah kekuasaan rakyat berbentuk
pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat ikut mengambil bagian dalam
pemerintahan. Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dengan
keputusan-keputusan utama dan bagian terbesar kekuasaan pemerintahannya juga
arah kebijakan/policy dibalik semua keputusan tadi ada pada persetujuan bebas
dari mayoritas orang dewasa dan pejabat-pejabat yang memerintah negara
tersebut.
Sejarah pekembangan demokrasi berawal dari
zaman kuno Kata "demokrasi" pertama
muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap
sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM. Cleisthenes disebut
sebagai "bapak demokrasi Athena. Setelah demokrasi pada
zaman kuno muncullah demokrasi pada abad perengahan , selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang memiliki pemilihan umum
atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian kecil penduduk.
Pada era moderen yaitu abad ke-18 dan 19 bangsa pertama dalam sejarah modern yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755. Konstitusi
Korsika didasarkan pada
prinsip-prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak suara wanita, hak yang baru diberikan di negara demokrasi lain pada
abad ke-20. Abad ke 20 dan 21 transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam
serangkaian "gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang,
revolusi, dekolonisasi, religious and
economic circumstances. Perang Dunia I dan
pembubaran Kesultanan Utsmaniyah dan Austria-Hongaria berakhir dengan terbentuknya beberapa negara-bangsa baru
di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu demokratis.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat
ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru
demokrasi". Menurutnya,
prinsip-prinsip demokrasi adalah:
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang
diperintah;
6. Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
8. Proses hukum yang wajar;
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi
adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan
yang sama dalam hubungan sosial.
Sesudah berakhirnya
Perang Dunia II muncul beberapa negara di Asia dan Afrika. Walaupun
negara-negara baru itu banyak berbeda satu sama lain baik mengenai
kebudayaannya, keadaan geografisnya, maupun perkembangan sejarahnya, tetai pada
hakikatnya semua negara itu menghadapi satu persoalan yang sama, yaitu
bagaimana mengubah suatu masyarakat agraris yang banyak ciri-ciri
tradisionalnya, susunan masyarakat berlapis serta tingkat ekonominya rendah,
menjadi suatu negara yang modern yang tingkat ekonominya lebih tinggi sesuai
dengan rising expectations dari
rakyatnya. Di dalam meneropong perkembangan demokrasi di Indonesia ada baiknya
kita memerhatikan kejadian-kejadian di Pakistan. Kedua negara yang mayoritas
rakyatnya beragama islam memulai masa merdekanya dengan sistem parlementer (di
Indonesia sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Belanda, di
Pakistan sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Inggris). Di
kedua negara, sistem ini pada suatu ketika terasa tidak cocok dan diganti dengan
sistem presidensial (di Indonesia pada tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpin,
di Pakistan pada tahun 1958 dengan Demokrasi Dasar).
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
demokrasi?
2.
Bagaimana sejarah
perkembangan demokrasi?
3.
Apa saja prinsip-prinsip
demokrasi?
4.
Apa yang menjadi asas pokok
demokrasi?
5.
Bagaimana perkembangan
demokrasi di Asia “Pakistan dan Indonesia?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas Mata
Kuliah Kapsel Ilmu Politik.
2. Untuk menambah wawasan tentang
demokrasi.
3. Untuk mengetahui bagaimana sejarah
perkembangan demokrasi.
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip
demokrasi.
5. Untuk mengetahui asas pokok
demokrasi.
6. Untuk mengetahui dan menambah
wawasan bagaimana perkembangan demokrasi di Asia “Pakistan dan Indonesia”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani (demokratia)
"kekuasaan rakyat", yang terbentuk dari (demos) "rakyat" dan (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada
abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota
Yunani, salah satunya Athena; kata
ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan
elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun
kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan
kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan
budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi
sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati
kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi
modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19
dan 20. Kata demokrasi (democracy)
sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis
Pertengahan dan Latin
Pertengahan lama.
Demokrasi
adalah kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat
ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan bentuk
pemerintahan dengan keputusan-keputusan utama dan bagian terbesar kekuasaan
pemerintahannya juga arah kebijakan/policy dibalik semua keputusan tadi ada
pada persetujuan bebas dari mayoritas orang dewasa dan pejabat-pejabat yang
memerintah negara tersebut.
Adapun
pengertian demokrasi menurut para ahli yaitu sebagai berikut :
1. Abraham Lincoln
Demokrasi
adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.
2. Charles Costello
Demokrasi
adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan
pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak
perorangan warga negara.
3. John L. Esposito
Demokrasi
pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Oleh karenanya, semuanya
berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja lembaga resmi
pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif.
4. Hans Kelsen
Demokrasi
adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan
Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa
segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan
kekuasaan Negara.
5. Sidney Hook
Demokrasi
adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting
secara langsung atau tidak didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan
secara bebas dari rakyat dewasa.
Dengan
demikian, demokrasi artinya
pemerintahan oleh rakyat, dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat
dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di
bawah sistem pemilihan bebas.
B.
Sejarah
Perkembangan Demokrasi
1. Zaman Kuno
Kata "demokrasi" pertama
muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap
sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM. Cleisthenes disebut
sebagai "bapak demokrasi Athena."
Demokrasi Athena berbentuk demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama: pemilihan acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif dan
yudisial di pemerintahan, dan majelis legislatif yang terdiri dari semua warga
Athena. Semua warga negara yang memenuhi ketentuan boleh berbicara dan memberi
suara di majelis, sehingga tercipta hukum di negara-kota tersebut. Akan tetapi,
kewarganegaraan Athena tidak mencakup wanita, budak, orang asing (μέτοικοι metoikoi), non-pemilik
tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun.
Dari sekitar 200.000 sampai 400.000
penduduk Athena, 30.000 sampai 60.000 di antaranya merupakan warga negara. Pengecualian sebagian besar penduduk dari kewarganegaraan
sangat berkaitan dengan pemahaman tentang kewarganegaraan pada masa itu. Nyaris
sepanjang zaman kuno, manfaat kewarganegaraan selalu terikat dengan kewajiban
ikut serta dalam perang.
Demokrasi Athena tidak hanya
bersifat langsung dalam artian keputusan dibuat oleh majelis, tetapi
juga sangat langsung dalam artian rakyat, melalui majelis, boule, dan
pengadilan, mengendalikan seluruh proses politik dan sebagian besar warga
negara terus terlibat dalam urusan publik. Meski hak-hak individu tidak dijamin
oleh konstitusi Athena dalam arti modern (bangsa Yunani kuno tidak punya kata
untuk menyebut "hak"), penduduk Athena menikmati kebebasan tidak
dengan menentang pemerintah, tetapi dengan tinggal di sebuah kota yang tidak
dikuasai kekuatan lain dan menahan diri untuk tidak tunduk pada perintah orang
lain.
Pemungutan suara
kisaran pertama dilakukan di Sparta pada 700 SM. Apella merupakan majelis rakyat yang diadakan sekali sebulan.
Di Apella, penduduk Sparta memilih pemimpin dan melakukan pemungutan suara
dengan cara pemungutan suara kisaran dan berteriak. Setiap warga negara pria
berusia 30 tahun boleh ikut serta. Aristoteles menyebut hal ini "kekanak-kanakan", berbeda
dengan pemakaian kotak suara batu layaknya warga Athena. Tetapi Sparta memakai
cara ini karena kesederhanaannya dan mencegah pemungutan bias, pembelian suara,
atau kecurangan yang mendominasi pemilihan-pemilihan demokratis pertama.
Meski Republik Romawi berkontribusi banyak terhadap berbagai aspek demokrasi,
hanya sebagian kecil orang Romawi yang memiliki hak suara dalam pemilihan wakil
rakyat. Suara kaum berkuasa ditambah-tambahi melalui sistem gerrymandering, sehingga kebanyakan pejabat tinggi, termasuk anggota Senat,
berasal dari keluarga-keluarga kaya dan ningrat. However, many notable exceptions did occur. Republik Romawi
juga merupakan pemerintahan pertama di dunia Barat yang negara-bangsanya
berbentuk Republik, meski demokrasinya tidak menonjol. Bangsa Romawi
menciptakan konsep klasik dan karya-karya dari zaman Yunani kuno terus
dilindungi. Selain itu, model pemerintahan Romawi menginspirasi para pemikir
politik pada abad-abad selanjutnya, dan negara-negara demokrasi perwakilan
modern cenderung meniru model Romawi, bukan Yunani, karena Romawi adalah negara
yang kekuasaan agungnya dipegang rakyat dan perwakilan terpilih yang telah
memilih atau mencalonkan seorang pemimpin. Demokrasi perwakilan adalah bentuk demokrasi
yang rakyatnya memilih perwakilan yang kemudian memberi suara terhadap sejumlah
inisiatif kebijakan, berbeda dengan demokrasi langsung yang rakyatnya memberi
suara terhadap inisiatif kebijakan secara langsung.
2. Abad Pertengahan
Selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang memiliki pemilihan umum
atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian kecil penduduk. Sistem-sistem
tersebut meliputi:
·
Sistem tuatha di Irlandia abad pertengahan awal, Veche di Republik
Novgorod dan Pskov di
Rusia abad pertengahan,
Banyak wilayah di Eropa abad
pertengahan dipimpin oleh pendeta atau tuan tanah. Kouroukan Fouga
membelah Kekaisaran Mali menjadi klan-klan (keluarga) berkuasa yang diwakili di
majelis umum bernama Gbara. Sayangnya, piagam tersebut membuat Mali
lebih mirip monarki konstitusional alih-alih republik demokratis. Negara yang sistemnya
lebih mendekati ddemokrasi modern adalah republik-republik Cossack di Ukraina
pada abad ke-16–17: Cossack Hetmanate dan Zaporizhian Sich. Jabatan tertinggi di sana, Hetman, dipilih oleh perwakilan distrik-distrik negara
tersebut.
Parlemen Inggris sudah membatasi kekuasaan raja melalui Magna Carta, yang
secara rinci melindungi hak-hak khusus subjek-subjek Raja, baik yang sudah
bebas atau masih terkekang, dan mendukung apa yang kelak menjadi habeas corpus Inggris, yaitu perlindungan kebebasan individu dari
penahanan tak berdasar dengan hak membela diri. Parlemen pertama yang dipilih
rakyat adalah Parlemen de
Montfort di Inggris pada tahun
1265.
Sayangnya, hanya sekelompok kecil
rakyat yang memiliki hak suara; Parlemen dipilih oleh sekian persen penduduk
Inggris (kurang dari 3% pada tahun 1780) dan kekuasaan menyusun parlemen berada
di tangan monarki (biasanya saat ia membutuhkan dana).
Kekuasaan Parlemen bertambah secara
bertahap pada abad-abad berikutnya. Setelah Revolusi Agung 1688, Undang-Undang
Hak Asasi Inggris tahun 1689 yang
mengatur hak-hak tertentu dan menambah pengaruh Parlemen diberlakukan. Penyebarannya perlahan ditingkatkan dan
kekuasaan parlemen terus bertambah sampai monark hanya bersifat pelengkap.
Seiring meningkatnya penyebaran pengaruh, sistem pemerintahan di seluruh
Inggris diseragamkan dengan penghapusan borough usang (borough yang jumlah pemilihnya sangat sedikit) melalui Undang-Undang
Reformasi 1832.
Di Amerika Utara, pemerintahan
perwakilan terbentuk di Jamestown, Virginia, dengan dipilihnya Majelis
Burgesses (pendahulu Majelis Umum
Virginia) pada tahun 1619. Kaum
Puritan Inggris yang bermigrasi sejak 1620 mendirikan koloni-koloni di New
England yang pemerintahan daerahnya bersifat demokratis dan mendorong
perkembangan demokrasi di Amerika Serikat.] Walaupun majelis-majelis
daerah memiliki sedikit kekuasaan turunan, otoritas mutlaknya dipegang oleh
Raja dan Parlemen Inggris.
3. Era modern
a.
Abad ke-18 dan 19
Bangsa pertama dalam sejarah modern
yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755. Konstitusi
Korsika didasarkan pada
prinsip-prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak suara wanita, hak yang baru diberikan di negara demokrasi lain pada
abad ke-20. Pada tahun 1789, Perancis
pasca-Revolusi mengadopsi Deklarasi Hak
Asasi Manusia dan Warga Negara dan Konvensi Nasional
dipilih oleh semua warga negara pria pada tahun 1792.
Penetapan hak suara pria
universal di Perancis tahun 1848
adalah peristiwa penting dalam sejarah demokrasi. Hak suara pria universal ditetapkan di Perancis pada bulan Maret 1848 setelah Revolusi
Perancis 1848. Tahun 1848, serangkaian revolusi pecah
di Eropa setelah para pemimpin
negara dihadapkan dengan tuntutan konstitusi liberal dan pemerintahan yang
lebih demokratis dari rakyatnya.
Walaupun tidak disebut demokrasi
oleh para bapak pendiri
Amerika Serikat, mereka memiliki
keinginan yang sama untuk menguji prinsip kebebasan dan kesetaraan alami di
negara ini.[27] Konstitusi Amerika Serikat yang diadopsi tahun 1788 menetapkan pemerintahan
terpilih dan menjamin hak-hak dan kebebasan sipil.
Pada zaman kolonial sebelum 1776,
dan beberapa saat setelahnya, hanya pemilik properti pria dewasa berkulit putih
yang boleh memberi suara, budak Afrika, sebagia besar penduduk berkulit hitam
bebas dan wanita tidak boleh memilih. Di garis depan
Amerika Serikat, demokrasi menjadi gaya
hidup dengan munculnya kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi,
perbudakan adalah institusi sosial dan ekonomi, terutama di 11 negara bagian di
Amerika Serikat Selatan. Sejumlah organisasi didirikan untuk mendukung perpindahan
warga kulit hitam dari Amerika Serikat ke tempat yang menjamin kebebasan dan
kesetaraan yang lebih besar.
Pada Sensus Amerika
Serikat 1860, populasi budak di
Amerika Serikat bertambah menjadi empat juta jiwa, dan pada Rekonstruksi pasca-Perang Saudara (akhir 1860-an), budak-budak yang
baru bebas menjadi warga negara dengan hak suara (pria saja). Penyertaan penuh warga negara belum sempurna dilakukan sampai
Gerakan Hak-Hak
Sipil Afrika-Amerika (1955–1968)
disahkan oleh Kongres Amerika Serikat melalui Undang-Undang
Hak Suara 1965.
b.
Abad ke-20 dan 21
Transisi abad ke-20 ke
demokrasi liberal muncul dalam serangkaian "gelombang demokrasi" yang
diakibatkan oleh perang, revolusi, dekolonisasi, religious and
economic circumstances. Perang Dunia I dan
pembubaran Kesultanan Utsmaniyah dan Austria-Hongaria berakhir dengan terbentuknya beberapa negara-bangsa baru
di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu demokratis.
Pada tahun 1920-an,
demokrasi tumbuh subur tetapi terhambat Depresi Besar. Amerika Latin dan Asia langsung berubah ke sistem
kekuasaan mutlak atau kediktatoran. Fasisme dan kediktatoran terbentuk di Jerman Nazi, Italia, Spanyol, dan Portugal, serta rezim-rezim non-demokratis di Baltik, Balkan, Brasil, Kuba, Cina, dan Jepang.
Perang Dunia II mulai memutarbalikkan tren ini di Eropa Barat.
Demokratisasi Jerman dudukan
Amerika Serikat, Britania, dan Perancis (diragukan), Austria, Italia, dan Jepang dudukan
menjadi model teori perubahan rezim selanjutnya.
Akan tetapi, sebagian
besar Eropa Timur, termasuk Jerman dudukan Soviet masuk dalam blok-Soviet yang non-demokratis. Perang Dunia diikuti oleh dekolonisasi dan
banyak negara merdeka baru memiliki konstitusi demokratis. India tampil sebagai negara demokrasi terbesar di dunia sampai
sekarang.
Pada tahun 1960, banyak
negara yang menggunakan sistem demokrasi, meski sebagian besar penduduk dunia
tinggal di negara yang melaksanakan pemilihan umum terkontrol dan bentuk-bentuk
pembohongan lainnya (terutama di negara komunis dan bekas koloninya).
Gelombang demokratisasi yang
muncul setelah itu membawa keuntungan demokrasi liberal sejati yang besar bagi
banyak negara. Spanyol, Portugal (1974), dan sejumlah kediktatoran militer di Amerika
Selatan kembali dikuasai rakyat sipil pada akhir 1970-an dan awal 1980-an (Argentina tahun
1983, Bolivia, Uruguay tahun
1984, Brasil tahun
1985, dan Chili awal
1990-an). Peristiwa ini diikuti
oleh banyak bangsa di Asia Timur dan Selatan pada pertengahan sampai akhir 1980-an.
Malaise ekonomi tahun
1980-an, disertai ketidakpuasan atas penindasan Soviet, menjadi faktor runtuhnya Uni Soviet yang menjadi tanda berakhirnya Perang Dingin dan demokratisasi dan liberalisasi bekas negara-negara blok Timur. Kebanyakan negara demokrasi baru yang sukses secara
geografis dan budaya terletak dekat dengan Eropa Barat. Mereka sekarang menjadi
anggota atau calon anggota Uni Eropa. Sejumlah peneliti menganggap Rusia saat ini bukanlah
demokrasi sejati dan lebih mirip kediktatoran.
Tren liberal ini menyebar
ke beberapa negara di Afrika pada tahun 1990-an, termasuk Afrika Selatan.
Contoh terbaru liberalisasi adalah Revolusi
Indonesia 1998, Revolusi
Bulldozer di Yugoslavia, Revolusi Mawar di Georgia, Revolusi Oranye di Ukraina, Revolusi Cedar di Lebanon, Revolusi Tulip di Kyrgyzstan, dan Revolusi Yasmin di Tunisia. Menurut
Freedom House, pada
tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi elektoral (naik dari 40 pada tahun
1972). Menurut World Forum on
Democracy, jumlah negara
demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192 negara di dunia dan mencakup 58,2
penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-negara demokrasi liberal (yang
dianggap Freedom House sebagai negara yang bebas dan menghormati hukum dan HAM)
berjumlah 85 dan mencakup 38 persen penduduk dunia. Pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan 15 September sebagai Hari Demokrasi
Internasional.
C.
Prinsip-Prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat dari
berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat
Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru
demokrasi". Menurutnya,
prinsip-prinsip demokrasi adalah:
13. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang
diperintah;
17. Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
19. Proses hukum yang wajar;
D.
ASAS POKOK DEMOKRASI
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi
adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan
yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas
pokok demokrasi, yaitu:
1. Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan
wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk
melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-ciri pemerintahan demokratis
Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan
dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai
berikut:
1. Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan
keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
2. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi rakyat (warga negara).
4. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang
independen sebagai alat penegakan hukum.
6. Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan
informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
7. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang
duduk di lembaga perwakilan rakyat.
8. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk
menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga
perwakilan rakyat.
9. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku,
agama, golongan, dan sebagainya).
E.
Perkembangan Demokrasi Di
Asia: Pakistan Dan Indonesia
Sesudah berakhirnya
Perang Dunia II muncul beberapa negara di Asia dan Afrika. Walaupun
negara-negara baru itu banyak berbeda satu sama lain baik mengenai
kebudayaannya, keadaan geografisnya, maupun perkembangan sejarahnya, tetai pada
hakikatnya semua negara itu menghadapi satu persoalan yang sama, yaitu
bagaimana mengubah suatu masyarakat agraris yang banyak ciri-ciri
tradisionalnya, susunan masyarakat berlapis serta tingkat ekonominya rendah,
menjadi suatu negara yang modern yang tingkat ekonominya lebih tinggi sesuai
dengan rising expectations dari
rakyatnya. Untuk usaha ini perlu disusun suatu sistem politik yang stabil serta
dinamis, aparatur administrasi yang efisien, serta aparatur yang efektif.
Pendek kata, persoalan yang dihadapi oleh negara-negara baru berkisar pada
masalah nation building dan
pembangunan ekonomi secara serentak.
Dalam usaha
membangun negaranya pada masa Pasca Perang Dunia II tersebut, ada negara yang
tertarik oleh pola komunis, seperti China dan Korea Utara. Tetapi banyak pula
negara yang lebih tertarik untuk membentuk sistem politik yang sedikit banyak
berperang pada beberapa asasi pokok dari demokrasi konstitusional seraya
memperkembangkan corak khas budaya politik masing-masing. Perkembangan yang
beraneka corak ini telah memperbanyak variasi dari demokrasi konstitusional.
Tetapi tidak dapat disangkal bahwa usaha modernisasi dari demokrasi
konstitusional seraya memperkembangkan corak khas dalam beberapa negara,
mengalami kesulitan oleh karena tidak adanya beberapa faktor yang dalam dunia
Barat telah sangat membantu perkembangan demokrasi sampai tercapai taraf
sekarang ini. Faktor-faktor ini antara lain adalah : persentase buta huruf yang
rendah, keadaan ekonomi yang mencukupi, adanya homogenitas sosial, kelas
menengah (middle class) yang kuat,
serta masa damai yang cukup lama. Dalam beberapa negara proses modernitas telah
mengakibatkan instabilitas politik sehingga rakyatnya mengalami kegoncangan
sosial dan konstitusional yang dahsyat. Juga dirasa perlunya membentuk suatu
pemerintahan yang kokoh kedudukannya untuk menyelenggarakan serta membimbing
proses ini. Dibeberapa negara timbul kecenderungan untuk memakai cara-cara yang
bersifat otokrasi dan memusatkan kekuasaan dalam tangan seorang pemimpin yang
kadang-kadang dibantu oleh kegiatan satu partai tunggal. Dibeberapa negara
lain, dimana pemimpin sipil tidak berdaya untuk mengatasi situasi yang
kompleks, kita melihat masuknya golongan angkatan bersenjata, terutama tentara,
ke dalam gelanggang politik.
Di dalam meneropong
perkembangan demokrasi di Indonesia ada baiknya kita memerhatikan
kejadian-kejadian di Pakistan. Kedua negara yang mayoritas rakyatnya beragama
islam memulai masa merdekanya dengan sistem parlementer (di Indonesia sistem
parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Belanda, di Pakistan sistem
parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Inggris). Di kedua negara,
sistem ini pada suatu ketika terasa tidak cocok dan diganti dengan sistem
presidensial (di Indonesia pada tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpin, di
Pakistan pada tahun 1958 dengan Demokrasi Dasar). Dalam tahap perkembangannya
kedua negara menunjukkan ciri-ciri otokrasi pemaksaan kehendak pemimpin dan
kultus individu. Di Indonesia tahap berakhir pada tahun 1965 dengan G 30S/PKI
dan dimulailah suatu periode baru yang berusaha meletakkan sendi-sendi
demokrasi konstitusional berdasarkan Pancasila. Di Pakistan Demokrasi Dasar
mendapat tantangan yang kuat dan pada tahun 1969 Presiden Ayub Khan
mengundurkan diri dan pimpinan diambil alih oleh Jenderal Yahya Khan. Dalam
perkembangan selanjutnya terjadi bentrokan antara Pakistan Barat dan Pakistan
Timur yang berakhir dengan munculnya Pakistan Timur pada tahun 1971 sebagai
negara merdeka bernama Bangladesh. Di Pakistan (Barat) sistem presidensial
kembali diganti dengan sistem parlementer.
Ada baiknya kita
teropong perkembangan di Pakistan, terutama masa Demokrasi Dasar sebagai contoh
dari suatu usaha untuk mengatasi krisis kepemimpinan dengan mengganti sistem
parlementer dengan suatu sistem presidensial.
1.
Pakistan
Ketika
lahir pada tahun 1947 Pakistan terdiri atas dua bagian, Pakistan Barat dan
Pakistan Timur yang satu sama lain terikat karena persamaan agama yaitu agama
Islam. Tetapi kedua bagian terpisah secara geografis oleh wilayah India
sepanjang 1.600 km dan juga berbeda dalam hal kebudayaan, bahasa, tingkat
pendidikan, dan sebagainya. Pakistan Timur dalam bahasa dan kebudayaannya
berorientasi kepada Bengal, sedangkan Pakistan Barat kepada Punjab. Pakistan
Timur lebih banyak penduduknya, tetapi mayoritas pegawai negeri. Sementara itu,
banyak perwira Angkatan Darat berasal dari Pakistan Barat. Selain itu, Pakistan
Barat lebih pesat kemajuan ekonominya sehingga Pakistan Timur merasa
dianaktirikan disemua bidang.
Tidak
lama sesudah tercapainya kemerdekaan, pelopor kemerdekaan Mohamad Ali Jinnah
meninggal dan kematiannya pada tahun 1951 disusul dengan terbunuhnya Liaquat
Ali Khan. Meninggalnya kedua pemimpin ini sanagat mempengaruhi perkembangan
politik selanjutnya, karena pemimpin-pemimpin lain tidak memiliki kewibawaan
ditingkat nasional. Disamping itu partai politik yang masa pra-kemerdekaan
telah memelopori berdirinya Pakistan sebagai negara terpisah dari India, Muslim League, kehilangan popularitas,
terutama dibagian timur. Dengan demikian Pakistan mengalami krisis kepemimpinan
dan keadaan instabilitas politik.
Hal
ini terasa waktu menghadapi masalah penyusunan undang-undang dasar baru. Baru
pada tahun 1956, setelah konstituante yang dilantik pada tahun 1947 dibubarkan
dan diganti oleh konstituante baru, suatu undang-undang dasar baru dapat
diterima dengan baik. Tetapi hal ini pun tidak dapat mengakhiri instabilitas
politik, sehingga pada tahun 1958 tentara turun tangan dengan membatalkan
Undang-Undang Dasar 1956 yang berdasarkan sistem parlementer dan membubarkan
kabinet, dewan perwakilan rakyat baik di pusat maupun di kedua provinsi, serta
partai-partai politik. Jenderal Ayub Khan mengambil alih pimpinan negara
sebagai presiden revolusioner dengan suatu kabinet presidensial. Pada tahun
1960 diadakan referendum, dimana Ayub Khan dipilih sebagai presiden dengan
diberi tugas untuk menyusun undang-undang dasar baru.
Presiden
Ayub Khan berpendapat bahwa sistem parlementer kurang cocok untuk Pakistan yang
80% rakyatnya masih buta huruf. Ia juga mengecam sistem parlementer karena
telah membuka kesempatan bagi pemimpin-pemimpin partai untuk memperkaya diri
dan memperkuda rakyat. Karena itu ia menganggap struktur perlu dirombak dan
diganti dengan suatu sistem yang memenuhu beberapa syarat :
1. Mudah dimengerti oleh rakyat yang buta huruf dan
hidup di daerah pedesaan.
2. Memberi kesempatan kepada semua rakyat termasuk
lapisan yang paling bawah untuk secara aktif memikirkan serta memutuskan
masalah sosial dan politik yang menyangkut daerahnya sendiri di dalam
batas-batas kemampuannya. Dengan demikian ia dapat menghindarkan diri dari
pengaruh pemimpin-pemimpin partai. Soal-soal nasional dipercayakan kepada
seorang presiden untuk diselesaikan.
3. Menyusun pemerintahan yang kokoh yang tidak
diombang-ambingkan oleh dewan perwakilan rakyat.
Gagasan
Ayub Khan dituang dalam suatu undang-undang dasar yang mulai berlaku bulan Juni
1962 dan dinamakan Demokrasi Dasar (Basic
Democracy). Untuk memungkinkan partisipasi aktif dari semua lapisan rakyat,
disusun suatu sistem pemilihan bertingkat berdasarkan sistem distrik. Seluruh
Pakistan dibagi dalam 80.000 distrik pemilihan kecil (40.000 di Pakistan Barat
dan 40.000 di Pakistan Timur) yang hanya mencakup kira-kira 1000 penduduk.
Dengan demikian setiap orang dapat memilih seorang kepercayaannya sebagai wakil
distriknya. 80.000 wakil distrik ini (yang dinamakan basic democrats), bertindak sebagai pemilih dalam suatu majelis
pemilihan (electoral college) yang
mempunyai wewenang untuk memilih presiden beserta kira-kira 150 anggota dewan
perwakilan rakyat. Dengan cara demikian diharapkan terpilihnya orang-orang yang
benar-benar merupakan wakil rakyat dan tersingkirnya pemimpin-pemimpin partai
politik (professional politicians) dari
arena politik.
Selanjutnya
dalam undang-undang dasar ditetapkan adanya seorang presiden sebagai Kepala
Eksekutif Chief Executive) yang tidak
dapat dijatuhkan oleh dewan perwakilan rakyat selama masa jabatan lima tahun
sesuai dengan sistem yang dalam ilmu politik biasanya disebut sistem
presidensial atau sistem fixed executive.
Di bidang legislatif presiden mempunyai wewenang untuk memveto rancangan
undang-undang yang telah diterima oleh dewan perwakilan rakyat. Veto ini hanya
dapat dibatalkan kalau rancangan undang-undang itu diajukan kepada sidang dan
kemudian diterima kembali oleh 2/3 dari jumlah anggotanya. Kalau presiden
menolak pembatalan vetonya, maka masalah ini dapat diajukannya kepada para Basic Democrats dalam suatu referendum
dimana dapat diharapkan mereka lebih bersimpati kepada presiden. Selain itu
presiden mempunyai wewenang untuk membubarkan dewan perwakilan rakyat, dalam
hal mana ia harus mengundurkan diri dalam 120 hari dan mengadakan pemilihan
umum baru. Juga dalam masa darurat yang keperluannya dapar ditentukan oleh
presiden sendiri, presiden mempunyai kekuasaan yang luas. Secara formal
kekuasaan presiden di Pakistan lebih besar daripada presiden di Amerika Serikat
atau presiden di Indonesia, dan karena itu pernah dikatakan bahwa pemerintah
Pakistan merupakan pemerintah dari presiden, oleh presiden, dan untuk presiden.
Ternyata siasat Presiden Ayub Khan untuk menyusun suatu orde politik baru dan
membimbing emansipasi rakyatnya tidak menemui sasaran dalam pemilihan yang
diadakan dalam tahun 1962. Dengan sistem Demokrasi Dasar dan tanpa partai
ternyata banyak pemimpin partai lama dipilih kembali, demikian pula dengan
dewan perwakilan rakyat baru segera menghidupkan partai-partai lama, bahkan
Presiden Ayub Khan sendiri, menggabungkan diri (Convensionist) pada Muslim
League.
Tetapi
dibidang ekonom, pembaharuan Presiden
Ayub Khan lebih berhasil, malahan boleh dinamakan suatu success story kalau dilihat dri sudut naiknya GNP, tetapi
kemakmuran baru hanya dirasakan oleh sekelompok kecil rakyat di Pakistan Barat.
Lama-kelamaan timbul oposisi terhadap korupsi yang merajalela dan terhadap
sistem Demokrasi Dasar yang dianggap kurang demokratis. Sesudah terjadi
kerusuhan, maka pada tahun 1968 Presiden Ayub Khan menyerahkan kekuasaan kepada
Jenderal Yahya Khan. Presiden baru menjanjikan akan menghidupkan kembali sistem
parlementer dan mengadakan pemilihan umum akhir tahun 1970. Tetapi ternyata dua
partai terbesar yaitu Partai Rakyat di Pakistan Barat dan Partai Awami Nasional
di Pakistan Timur tidak dapat mencapai bassis yang cukup kuat untuk
merundingkan suatu undang-undang dasar baru, sehingga Jenderal Yahya Khan
mengambil alih pimpinan negara. Akhirnya pada tahun 1971 terjadi perpecahan
sehingga Pakistan menjadi dua negara, yakni Pakistan dan Bangladesh.
Perubahan
dari sistem presidensial ke sistem parlementer mewarnai perkembangan demokrasi
di Pakistan. bahkan ada yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan yang kemudian
dianut oleh Pakistan adalah sistem semi-presidensial. Posisi presiden di
Pakistan secara tradisional merupakan kepala pemerintahan yang menjalankan
pemerintahan sehari-hari.
Namun,
konsep dasar tersebut dalam pelaksanaannya di Pakistan sering terjadi
penyimpangan, terutama karena adanya kudeta militer atau kembalinya
pemerintahan sipil. Dalam keadaan seperti itu, perubahan dalam Undang-Undang
Dasar (UUD) Pakistan dapat mengganti kekuasaan atau hak-hak istimewa dari
presiden.
UUD
Pakistan, mengatur bahwa presiden memegang apa yang disebut sebagai reserve power dimana presiden dapat
menurunkan perdana menteri yang berkuasa dengan membubarkan National Assembly dan meminta
diselenggarakannya pemilihan umum baru. Sebagaimana diatur dalam UUD, reserve power ini haruslah mendapat
persetujuan atau veto dari Mahkamah Agung.
Perubahan
UUD pada tahun 1973 mengubah sistem presidensial menjadi sistem parlementer.
Hal ini berarti memberikan kekuasaan kembali kepada perdana menteri untuk
menjadi kepala pemerintahan. Zulfiqar Ali Bhutto yang menjadi Presiden tahun
1971 turun dari kursi kepresidenan dan menjadi Perdana Menteri sebagaimana
diamanatkan oleh UUD tahun 1973.
Tahun
1978, PM Zulfiqar Ali Bhutto digulingkan oleh Jenderal Muhamad Zia-ul-Haq yang
kemudian mengumumkan dirinya sebagai presiden. Mulai tahun 1978 hingga 1988
Pakistan kembali menganut sistem presidensial dimana presiden Zia menjadi
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Untuk memperkuat sistem
presidensial ini, Presiden Zia mengamandemen UUD 1973. Hal yang paling prinsip
diubah dalam UUD 1978 adalah ia mengintrodusir konsep reserve power dari seorang presiden.
Setelah
kematian presiden Zia tahun 1988, Pakistan kembali ke sistem parlementer.
Benazir Bhutto anak dari Zulfiqar Ali Bhutto, terpilih menjadi perdana menteri
perempuan pertama yang dipilih secara demokrasi dalam sebuah negara Islam.
Sejak
tahun 1990 terjadi ketidakstabilan politik di Pakistan dimana presiden dan
perdana menteri berkonflik, Presiden dengan reserve
powernya membubarkan National Assembly yang secara otomatis juga
menggulingkan perdana menteri. Dari tahun 1990 hingga 1996, presiden tiga kali
membubarkan Dewan Nasional (National
Assembly). Hal ini berarti tiga kali perdana menteri otomatis dijatuhkan
dan tiga kali pula pemilihan umum diselenggarakan pada periode tersebut.
Perubahan
dari sistem parlementer ke sistem presidensial terjadi lagi ketika Jenderal
Pervez Musharraf pada tanggal 12 Oktober 1999 melakukan kudeta menggulingkan
Perdana Menteri Nawaz Sharif. Pada saat itu ia mengumumkan dirinya sebagai Chief of Executive dan melakukan
tugas-tugas sebagai perdana menteri sampai dengan 32 November 2002 dan pada
tanggal 20 Juni 2001, ia mengklaim dirinya sebagai presiden Pakistan.
Keberlangsungan
demokrasi di Pakistan diuji pada ,asa Jenderal Mushaeeaf. Ia yang meraih
kekuasaan melalui kudeta, harus melegitimasikan posisi kepresidenannya dan
menjamin kelanjutan kedudukannya. Atas perintah Mahkamah Agung, Jenderal
Musharraf harus mengadakan pemilihan umum selambat-lambatnya tanggal 12 Oktober
2002. sebelum pemilihan umum itu berlangsung, Jenderal Musharraf mengadakan
referendum pada tanggal 30 April 2002 untuk melihat kemungkinan dirinya
memperpanjang masa jabatannya setelah pemilu Oktober 2002. Tetapi, referendum
ini diboikot oleh kebanyakan kelompok politik, sehingga jumlah pesertanya hanya
30% atau mungkin lebih rendah menurut perkiraan umum. Meskipun begitu,
Musharraf melalui partai bentukannya Partai Pakistan
Muslim League Quaide-Azam (PML-Q) memenangkan pemilu yang diadakan pada
Oktober 2002 dan partai yang baru dibentuk tersebut memenangkan kursi
diparlemen. Dengan dukungan partai itu, para anggota parlemen pro-Musharraf
dapat menguasai dua per tiga super mayoritas yang dibutuhkan untuk meloloskan
amandemen yang ke-17 yang secara retroaktif melegalisasikan kudeta Musharraf
tahun 1999 dan banyak dekrit yang dikeluarkan sesudah itu. Dalam sebuah mosi
percaya pada 1 Januari 2004, Musharraf memenangkan 658 dari 1.170 suara di
Dewan Pemilihan Pakistan dan menurut pasal 41(8) dari kostitusi Pakistan ia
“dianggap terpilih” menjadi Presiden hingga Oktober 2007.
2. Indonesia
Perkembangan Demokrasi di Indonesia telah
mengalami pasang surut. Selama 20 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata
masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang
beranekaragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping
membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokoknya
masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinan
cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan
timbulnya diktator, apakah diktator ini bersifat perorangan, partai, ataupun
militer.
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi
sejarah Indonesia Dapat dibagi dalam empat masa, yaitu :
a.
Masa Republik Indonesia I
(1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan
parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi
Parlementer.
b.
Masa Republik Indonesia II
(1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah
menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
c.
Masa Republik Indonesia III
(1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
d.
Masa Republik Indonesia IV
(1998-sekarang), yaitu masa Reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di
Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada
masa Republik Indonesia III
v
Masa
Republik Indonesia I (1945-1959): Masa Demokrasi Konstitusional
Sistem parlementer yang berlaku sebulan
sesudah kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam Undang-Undang
Dasar 1949 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia meskipun dapat
berjalan secara memuaskan dalam beberapa negara Asia lain. Persatuan yang dapat
digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat
dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai.
Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk
dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Undang-Undang Dasar 1950 menetapkan
berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif yang terdiri atas presiden
sebagai kepala negara konstitusional (contitutional
head) dan menteri-menterinya mempunyai tanggungjawab politik. Karena
fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang
berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi
ternyata kurang mantap dan partai dalam koalisi tidak segan-segan untuk menarik
dukungannya sewaktu-waktu, sehingga kabinet sering kali jatuh karena keretakan
dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan bahwa partai-partai dalam
koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggungjawab mengenai permasalahan
pemerintah. Dilain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu
berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun program-program yang
alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif, dari tugas oposisi.
Umumnya kabinet pada masa pra pemilihan umum
yang diadakn pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata
delapan bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh
karena pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya pun.
Pemilihan Umum tahun 1955 tidak membwa stabilitas yang diharapkan, bahkan tidak
dapat menghindarkan perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan
beberapa daerah.
Disamping itu ternyata ada bebrapa kekuatan
sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis
dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, yaitu
seorang presiden yang tidak mau bertindak sebagai rubberstamp (presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu
tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggungjawab untuk turut
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan
tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante
untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru,
mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden
untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya
kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan
sistem parlementer berakhir.
v
Masa
Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari
presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis,
dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik.
Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang
sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui
pembentukkan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka
kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima
tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno
sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini
(Undang-Undang Dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan
oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu, banyak lagi tindakan yang menyimpang atau
menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam
tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara
eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat
demikian. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan
Rakyat pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah,
sedangkan fungsi kontrol diadakan. Bahkan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu
presiden, disamping fungsi sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan
telah ditinggalkannya doktrin Trias
Politika. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang
memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif untuk campur tangan
dibidang lain selain bidang eksekutif.
Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan dibidang yudikatif
berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964, dan dibidang legislatif berdasarkan
Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak
mencapai mufakat.
Selain itu terjadi penyelewengan dibidang
perundang-undangan dimana berbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui
Penetapan Presiden (Penpres) yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum.
Tambahan pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional
yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengan
taktik Komunisme Internasional yang menggariskan pembentuk front nasional
sebagai persiapan kearah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai politik dan pers
yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan, dan
dibreidel, sedangkan politik mercu suar dibidang hubungan luar negeri dan
ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram.
G 30 S/PKI telah mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya
masa demokrasi Pancasila.
v
Masa
Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila
Landasan formal dari periode ini ialah
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, serta Ketetapan-Ketetapan MPRS. Dalam
usaha untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar yang
telah terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan
korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan jabatan masa seumur hidup
untuk Ir. Soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjadi
jabatan elektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telh menentukan
ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa Demokrasi Terpimpin dan
atas dasar itu Undang-Undang No. 19/1964
telah diganti dengan suatu Undang-Undang (No. 14/1970) yang menetapkan kembali
ke asas kebebasan badan-badan pengadilan. Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
diberi beberapa hak kontrol disamping tetap mempunyai fungsi untuk membantu
pemerintah. Pemimpinnya tidak mempunyai status materi. Begitu pula tata tertib
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang baru telah meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada presiden untuk
memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapai mufakat antara anggota badan
legislatif. Golongan Karya diamana, anggota ABRI memainkan peranan penting,
diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa hak asasi
diusahakan supaya diselenggarakan lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih
luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan kepada partai-partai politik
untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum
1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam
masyarakat disamping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur serta terencana.
Perkembangan lebih lanjut pada masa Republik
Indonesia III (yang juga disebut sebagai Orde Baru yang menggantikan Orde Lama)
menunjukkan peranan presiden yang
semakin besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan ditangan
presiden karena Presiden Soeharto telah menjelma sebagai seorang tokoh yang
paling dominan dalam sistem politik Indonesia., tidak saja karena jabatannya
sebagai presiden dalam sistem presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang
dominan dalam elit politik Indonesia, keberhasilan memimpin penumpasan G 30
S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Surat Perintah 11 Maret
(Super Semar) memberikan peluang yang besar kepada Jenderal Soeharto untuk
tampil sebagai tokoh yang berpengaruh di Indonesia. Status ini membuka peluang
bagi Jenderal Soeharto untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti
Presiden Soekarno.
Perlunya menjaga kestabilan politik,
pembangunan nasional, dan integrasi nasional telah digunakan sebagai alat
pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk
yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyalitas
pegawai negeri sipil (PNS). Semula prinsip itu diperlukan untuk melindungi Orde
Baru dan gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari musush-musuh Orde Baru
dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar pada setiap pemilihan umum
(pemilu). Krmudian stelah Orde Baru menjadi lebih kuat, ternyata prinsip
monoloyalitas tersebu\t masih tetap digunakan untuk mencegah partai politik
lain keluar sebagai pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde Baru dapat
terus berkuasa.
Masa Republik Indonesia III menunjukkan
keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan
berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam kali
pemilu, masing-masing pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dari
awal, Orde Baru memang menginginkan adanya pemilu. Ini terlihat dari
dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Pemilu pada tahun 1969, hanya setahun setelah
Presiden Soeharto dilantik sebagai presiden oleh MPRS pada tahun 1968 atau dua
tahun setelah ia dilantik sebagai pejabat presiden pada tahun 1967. Hak ini
sesuai dengan slogan Orde Baru pada masa awalnya, yakni Melaksanakan UUD 1945
secara murni dan konsekuen.
Namun ternyata nilai-nilai demokrasi tidak
diberlakukan dalam pemilu-pemilu tersebut karena tidak ada kebebasan memilih
bagi para pemilih dan tidak ada kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi
pemilu (OPP) untuk memenangkan pemilu. Sebelum fusi partai politik tahun 1973,
semua OPP, kecuali Golkar, menghadapi berbagai kendala dalam menarik dukungan
dari para pemilih, antara lain karena adanya asas monoloyalitas yang sudah
disebutkan sebelumnya. Setelah fusi 1973 yang menghasilkan dua partai politik
disamping Golkar, tidak ada perubahan dalam pemilu karena Golkar tetap dapat
dipastikan memenangkan setiap pemilu. Hal ini disebabkan karena OPP ini
mendapatkan dukungan dan fasilitas dari pemerintah sedangkan dua partai
lainnya, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP)dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) menghadapi banyak kendala dalam memperoleh dukungan dari para pemilih.
terlepas dari semua itu, pelaksanaan pemilu sebanyak 6 kali tersebut telah
memberikan pendidikan politik yang penting bagi rakyat Indonesia sehingga
rakyat telah terbiasa memberikan suara dan menentukan pilihan dalam pemilu.
Keberhasilan pemerintah Presiden Soeharto untuk menjadikan Indonesia swasembada
beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan pembangunan ekonomi pada masa-masa
setelah itu ternyata tidak diikuti dengan kemampuan untuk memberantas korupsi.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) berkembang dengan pesat seiring dengan keberhasilan
pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai
peluang untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota keluarga dan kroni
para penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto
telah membuat presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu
institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya
melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse
of power). Menjelang berakhirnya Orde Baru, elit politik menjadi semakin
tidak peduli dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak membuat
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan merugikan negara dan
rakyat banyak.
Akibat dari semua ini adalah semakin
menguatnya kelompok-kelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru.
Yang menjadi pelopor para penentang ini adalah para mahasiswa dan pemuda.
Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada bulan
Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan tumbangny Orde
Baru. Kekuatan mahasiswa yang besar yang menyebabkan sulitnya mereka diusir
dari gedung tersebut dan semakin kuatnya dukungan para mahasiswa dan masyarakat
dari berbagai daerah di Indonesia terhadap gerakan tersebut berhasil memaksa
elit politik untuk berubah sikap terhadap Presiden Soeharto. Pimpinan DPR
secara terbuka meminta presiden turun. Kemudian 14 orang menteri Kabinet
Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang
akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntutan
mahasiswa. Melihat perkembangan politik seperti ini, Presiden Soeharto merasa
yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat dan orang-orang
dekatnya sendiri, sehingga kemudian ia memutuskan untuk mundur sebagai Presiden
RI pada tanggal 20 Mei 1998. Mundurnya Soeharto dari kursi presiden menjadi
pertanda dari berakhirnya masa Republik Indonesia III yang disusul munculnya
Republik Indonesia IV.
v
Masa
Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi
Tumbangnya Orde Baru membuka peluang
terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde
Baru mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi
membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa
Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses
pendemokrasian politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk,
kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif
dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Presiden Habibie yang dilantik sebagai
presiden untuk menggantikan Presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden
yang akan memulai langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh
karena itu, langkah yang dilakukan pemerintah Habibie adalah mempersiapkan
pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. UU politik
yang meliputi UU Partai politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1999. UU politik ini jauh lebih
demokratis dibandingkan dengan UU politik sebelumnya sehingga Pemilu 1999
menjadi pemilu yang demokratis yang diakui oleh dunia internasional. Pada masa
pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang tidak kalah pentingnya,
yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI sekarang
TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan. Fungsi pertahanan menjadi
fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak reformasi internal TNI tersebut.
Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses
demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu
1999 dalam empat tahap selama empat tahu (1999-2002). Beberapa perubahan
penting dilakukan terhadap UUD 1945 agar UUD 1945 mampu menghasilkan
pemerintahan yang demokratis. Peranan DPR sebagai lembaga legislatif diperkuat,
semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih
diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat.
Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan umum untuk memilih presiden
dan wakil presiden secara langsung (pilpres). Pilpres pertama dilakukan pada
tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif.
Langkah demokratisasi berikutnya adalah
pemilihan umum untuk memilih kepala daerah \secara langsung (pilkada) yang
diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini
mengharuskan semua kepala daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada
mulai pertengahan 2005. Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa
jabatannya harus dipilih melalui pilkada. Pilkada bertujuan untuk menjadikan
pemerintah daerah lebih demokratis dengan diberikan hak bagi rakyat untuk
menentukan kepala daerah. Hal ini tentu saja berbeda dengan dengan pemilihan
kepala daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung krena dipilih oleh DPRD.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan
presiden pada tahun 2004 merupakan tonggak sejarah politik penting dalam
sejarah politik Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden
yang didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR , DPD (Dewan Perwakilan
Daerah), dan DPRD telah menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga
politik di indonesia. Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil
membentuk pemerintah Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai demokrasi
yang penting telah diterapkan melalui pelaksanaan peraturan perundang-undangan mulai
dari UUD 1945. Memang benar bahwa demokratisasi adalah proses tanpa akhir
karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud secara
tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi di Indonesia
telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demokrasi
adalah kekuasaan rakyat berbentuk pemerintahan dengan semua tingkatan rakyat
ikut mengambil bagian dalam pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi artinya pemerintahan oleh rakyat,
dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh
mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas.
Sejarah pekembangan demokrasi berawal dari
zaman kuno Kata "demokrasi" pertama
muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap
sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 508-507 SM. Cleisthenes disebut
sebagai "bapak demokrasi Athena. Setelah demokrasi pada
zaman kuno muncullah demokrasi pada abad perengahan , selama Abad Pertengahan, muncul berbagai sistem yang memiliki pemilihan umum
atau pertemuan meski hanya melibatkan sebagian kecil penduduk.
Pada era moderen yaitu abad ke-18 dan 19 bangsa pertama dalam sejarah modern yang mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun 1755. Konstitusi
Korsika didasarkan pada
prinsip-prinsip Pencerahan dan sudah mengizinkan hak suara wanita, hak yang baru diberikan di negara demokrasi lain pada
abad ke-20. Abad ke 20 dan 21 transisi abad ke-20 ke demokrasi liberal muncul dalam
serangkaian "gelombang demokrasi" yang diakibatkan oleh perang,
revolusi, dekolonisasi, religious and
economic circumstances. Perang Dunia I dan
pembubaran Kesultanan Utsmaniyah dan Austria-Hongaria berakhir dengan terbentuknya beberapa negara-bangsa baru
di Eropa, kebanyakan di antaranya tidak terlalu demokratis.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat
ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan "soko guru
demokrasi". Menurutnya,
prinsip-prinsip demokrasi adalah:
2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang
diperintah;
6. Pemilihan yang bebas, adil dan jujur;
8. Proses hukum yang wajar;
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintahan demokrasi
adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya manusia mempunyai kemampuan
yang sama dalam hubungan sosial.
a.
Pengakuan partisipasi
rakyat dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga
perwakilan rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil; dan
b.
Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk
melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Sesudah berakhirnya
Perang Dunia II muncul beberapa negara di Asia dan Afrika. Walaupun
negara-negara baru itu banyak berbeda satu sama lain baik mengenai
kebudayaannya, keadaan geografisnya, maupun perkembangan sejarahnya, tetai pada
hakikatnya semua negara itu menghadapi satu persoalan yang sama, yaitu
bagaimana mengubah suatu masyarakat agraris yang banyak ciri-ciri
tradisionalnya, susunan masyarakat berlapis serta tingkat ekonominya rendah,
menjadi suatu negara yang modern yang tingkat ekonominya lebih tinggi sesuai
dengan rising expectations dari
rakyatnya. Di dalam meneropong perkembangan demokrasi di Indonesia ada baiknya
kita memerhatikan kejadian-kejadian di Pakistan. Kedua negara yang mayoritas
rakyatnya beragama islam memulai masa merdekanya dengan sistem parlementer (di
Indonesia sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Belanda, di
Pakistan sistem parlementer yang mirip dengan yang ada di negeri Inggris). Di
kedua negara, sistem ini pada suatu ketika terasa tidak cocok dan diganti dengan
sistem presidensial (di Indonesia pada tahun 1959 dengan Demokrasi Terpimpin,
di Pakistan pada tahun 1958 dengan Demokrasi Dasar). Pakistan, ketika lahir
pada tahun 1947 Pakistan terdiri atas dua bagian, Pakistan Barat dan Pakistan
Timur yang satu sama lain terikat karena persamaan agama yaitu agama Islam.
Tetapi kedua bagian terpisah secara geografis oleh wilayah India sepanjang
1.600 km dan juga berbeda dalam hal kebudayaan, bahasa, tingkat pendidikan, dan
sebagainya. Pakistan Timur dalam bahasa dan kebudayaannya berorientasi kepada
Bengal, sedangkan Pakistan Barat kepada Punjab. Pakistan Timur lebih banyak
penduduknya, tetapi mayoritas pegawai negeri. Sementara itu, banyak perwira
Angkatan Darat berasal dari Pakistan Barat. Dipandang
dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia Dapat dibagi dalam empat
masa, yaitu :
1.
Masa Republik Indonesia I
(1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan
parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan Demokrasi Parlementer.
2.
Masa Republik Indonesia II
(1959-1965), yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah
menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasannya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3.
Masa Republik Indonesia III
(1965-1998), yaitu masa Demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
4.
Masa Republik Indonesia IV
(1998-sekarang), yaitu masa Reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di
Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada
masa Republik Indonesia III.
B. Saran
Sudah sepantasnya kita sebagai negara
yang berdemokrasi bisa menghargai pendapat orang lain. Kelebihan dan kekurangan
pada masing-masing masa demokrasi tersebut pada dasarnya bisa memberikan
pelajaran berharga bagi kita. Demokrasi memberikan harapan akan tumbuhnya
masyarakat baru yang memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul,
berpolitik dimana masyarakat mengharap adanya iklim ekonomi yang kondusif.
Untuk menghadapi tantangan dan mengelola harapan ini agar menjadi kenyataan
dibutuhkan kerjasama antar kelompok dan partai politik agar demokrasi bisa
berkembang ke arah yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Kartini, kartono. (1989). Pendidikan Politik. Bandung: CV. Mandar
Maju
EmoticonEmoticon